oleh: KH. Jalauddin
Rakhmat
(dari Buletin
Al-Tanwir; nomor 310, Edisi 24 November
2012/10 Muharram 1434H)
Di tengah-tengah
puing-puing kota purba Babilonia, Kur Babil, bertemulah dua pasukan. Kalau
tidak kedua-duanya beragama Islam, kedua pasukan itu bertentangan dalam segala
hal. Yang satu datang dari dari arah utara dengan puluhan ribu tentara. Yang
lain datang dari selatan dengan puluhan orang warga sipil. Yang satu membawa
persenjataan yang lengkap. Yang satu lagi hanya memikul bekal untuk perjalanan
sekejap. Di sebelah sana berdiri puluhan ribu orang yang siap menumpahkan
darah. Di sebelah sini berkumpul segelintir orang yang siap menebarkan damai.
Sebenarnya, ruang
antara dua pasukan itu adalah celah yang memisahkan dua ideologi besar dunia:
madzhab kecintaan dan madzhab kebendaan. Madzhab kecintaan adalah madzhab
Illahi, yang kepadanya bergantung keadilan dan kasih sayang. Madzhab kebendaan
adalah madzhab yang di atasnya ditegakkan kezaliman dan kebencian. Namun, yang
paling menarik dari kedua pasukan ini ialah kenyataan bahwa mereka semua
menisbahkan dirinya kepada agama Islam.
Ada ahli sejarah
yang menyebutkan bahwa inilah pertarungan antara keluarga Abu Sufyan dan
keluarga Nabi SAW, atau antara dua kabilah yang saling bermusuhan sejak Abdu
Manaf bin Qushay, atau antara dua partai politik besar dalam sejarah Islam masa
dulu. Sebut apa saja sekehendakmu. Imam Ja’far as-Sadiq (as) berkata: “Kami dan
keluarga Abu Sufyan memang bermusuhan karena Allah. Kami berkata: ‘Allah benar’,
mereka berkata: ‘Allah bohong’”[1]
Dr. Fuad Jabali[2] melakukan penelitian mendalam
tentang dua kelompok sahabat yang berhadapan di Shiffin; persis seperti mereka
yang berhadapan di Karbala (nama kemudian dari Kur Babil). Diduga mereka
bermusuhan karena fanatisme kabilah, karena letak geografis tempat tinggalnya,
atau kepentingan ekonomi. Semua hipotesis itu keliru. Mereka bermusuhan karena
perbedaan ideologis; antara orang-orang yang dibesarkan dalam asuhan wahyu
dengan orang-orang yang masuk berbondong-bondong setelah berakhirnya wahyu.
Di Karbala, lebih
dari 1400 tahun yang lalu, dari pihak pembawa pesan Madinah berdiri sosok indah
pelanjut risalah, al Imam. Ia hadapkan seluruh wajahnya kepada lautan manusia
dari Syam. Kali ini mereka diwakili oleh ‘Umar bin Sa’ad (bin Abi Waqqas)[3], yang mau membunuh cucu
Nabi SAW karena tergiur jabatan sebagai gubernur.
Dengarkan dialog
diantara dua kubu ideologi dunia ini:
Imam Husein mengajak dia (‘Umar bin Sa’ad) untuk meninggalkan Ibnu Ziyad dan bergabung dengan beliau. (Kemudian ‘Umar bin Sa’ad menjawab):
“Aku
takut mereka akan menghancurkan rumahku.”
(Imam
Husein berkata): “Aku nanti membangunkan bagimu rumah yang bagus.”
(Umar
berkata lagi): “Aku takut mereka merampas harta bendaku.”
(Imam
Husein menukas): “Aku akan gantikan hartamu dengan yang lebih baik dari itu.”
(Umar
bersikukuh): “Di Kufah aku punya keluarga, aku takut mereka akan dibunuh Ibn
Ziyad.”
Ayat (QS. At-Taubah:
24) seakan-akan turun khusus untuk ‘Umar bin Sa’ad:
“Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”(QS. At-Taubah: 24)
Namun ayat ini
boleh jadi turun untuk kita—wal ‘iyadzu billah—jika kita lebih mendahulukan
kepentingan keluarga dan kelompok kita, rumah yang kita banggakan, harta
kekayaan yang kita kumpulkan, perdagangan yang kita jalankan, di atas kecintaan
kepada Allah dan RasulNya dan jihad di jalannya.
“Inilah ideologi Ibnu
Sa’ad, untuk itu ia hidup dan mati: hartanya, rumahnya, keluarganya, dan
kelompoknya,” kata Syaikh Jawad Mughniyah. “Adapun agama dan hati nurani,
adapun Allah dan Rasulnya hanyalah kata-kata yang diulang-ulang selama
terpelihara hartanya, rumahnya, anak-anaknya, dan kelompoknya. Ibnu Sa’ad
memerangi Imam Husein demi kepentingan pribadi dan kecintaan kepada dunia. Semua
yang mendahulukan kekayaan dan keluarga di atas ketaatan kepada Allah dan
RasulNya, maka ia sedang hidup dengan ideologi Ibnu Sa’ad walupun ia menangisi
Imam Husein sampai memutih matanya, walaupun ia mengutuk Ibnu Ziyad seribu
kali, selama yang mendorongnya untuk bertindak sama dengan yang mendorong Ibnu
Sa’ad untuk membunuh Imam Husein.”[4]
Pilihlah jalan
hidupmu sekarang. Bergabunglah dengan Ibnu Sa’ad. Dahulukan rumahmu,
keluargamu, kelompokmu, kalau perlu dengan mengurbankan agamamu. Agama hanya
kamu ucapkan ketika kepentingan-kepentingan pribadimu terjaga.
Atau bergabunglah
dengan al-Imam al-Husein seperti Ummu Wahab. Ia berkata kepada anaknya:
“Bangunlah anakku, bela anak puteri Nabi SAW.” Anaknya menjawab: “Pasti aku lakukan, ya ummah. Aku takkan pernah gentar.”Melejitlah ia ke tengah-tengah musuh. Ia berhasil membunuh sekelompok lawannya. Ia kembali kepada ibunya, dengan nafas terengah-engah: “Ya Ummah, aradhiiti, sudah ridha-kah engkau, ibu.”“Tidak, sebelum engkau terbunuh di hadapan al-Husein.”
Dia menyerbu ke
tengah-tengah pasukan musuh, membunuh sekitar 19 orang berkuda dan 12 orang
pasukan jalan kaki. Kedua tangannya dipotong, kepalanya dipenggal. Ummu Wahab
mengambil tongkat dan membunuh pembunuh anaknya: “Biarlah ibuku dan bapakku
menjadi tebusanmu. Ia telah berperang demi manusia-manusia suci dari keluarga
Rasulullah (SAW).”
Assalamu ‘alayka ya aba ‘Abdillah, ‘alayka minni salaamullahi abadan ma baqiitu wa baqiyal layli wa al-nahar. Assalamu ‘ala al-Husein. Assalamu ‘ala ‘alayyibnil Husein. Assalamu ‘ala awlaadil Husein. Assamu ’ala ashhabil Husein wa rahmatullahi wa barakatu. Wa la ja’alahullahu achiral ‘ahdi minni liziyaratihim …..
Asyura, 10 Muharram
1434H
Jalaluddin Rakhmat
[1]
Majma al-Zawaid, 7:239; Musnad al-Bazzar, 2:191, halaman 571; Waq’ah al-Shiffin
318; Al-Nashaih al-Kafiyah 46
[2]
Fuad Jabali, Sahabat Nabi SAW, Bandung, Mizan, dari Disertasi tahun 2003,
diterbitkan tahun 2010
[3]
‘Umar bin Sa’ad ialah putera dari Sa’ad bin Abi Waqqas—salah seorang sahabat
Nabi yang terkenal. Umar bin Sa’ad inilah yang kelak akan menyembelih leher
Imam Husein (as) cucu Nabi. Jadi cucu Nabi disembelih oleh putera sahabat Nabi.
[4]
Syaikh Muhammad Jawad Mughniyyah, Al-Husayn wa Bathalat al-Karbala, Beirut;
Muassasah Dar al-Kitab al-Islami.
Comments